Rabu, 07 Maret 2012

penelitian sosial masyarakat

DERITA ORANG MISKIN & KEGELISAHAN
ARWAH PEJUANG KEMERDEKAAN
Oleh : Togar Lubis
“Orang miskin dilarang sakit, orang miskin juga dilarang sekolah”. Mungkin itulah ungkapan yang tepat sebagai gambaran bagaimana sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan dan mahalnya pendidikan bagi orang miskin di negeri ini. Ternyata, setelah 60 tahun Indonesia Merdeka, apa yang diamanatkan UUD 1945 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar ditanggung oleh negara” masih sangat jauh dari harapan kita.
      
Jika diberi pilihan, tidak ada satupun manusia didunia ini yang mau dilahirkan sebagai orang miskin. Dalam gambar terlihat anak-anak dari keluarga miskin di Desa Jaring Halus, Kec, Secanggang, Kab.Langkat, Sumatera Utara sedang bermain pelataran. Mereka ini butuh masa depan yang lebih baik. Jika bukan kita, lalu siapa lagi ………………………
         Kita sangat terenyuh membaca kisah pedih yang dialami Lailasari dan Udin. Dua orang miskin di ibukota, mengalami kesulitan mendapatkan pelayan kesehatan dari Rumah Sakit hanya dikarenakan status keduanya adalah miskin. Sudah entah kemana perginya rasa perikemanusian dan rasa kepedulian sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, sehingga pada hari pertama Lailasari ditolak 6 Rumah Sakit disebabkan tidak memiliki cukup uang. Rumah Sakit tersebut adalah RS. Budi Asih, RSCM, RSPAD Gatot Subroto, RSAL Mintoharjo, RS. UKI Cawang dan RS. Harapan Kita. Pada Rumah Sakit ketujuh, yaitu RS. Harapan Bunda di Jakarta Timur, akhirnya Muhammad Zulkifri anak dari pasangan Lailasari dan Husin ini diterima dan dirawat.
        Nasib serupa juga dialami Udin si orang tua miskin. Anaknya yang sedang sakit bernama Ulis Muslimah dan masih berumur 9 hari, juga ditolak oleh 6 Rumah Sakit hanya dikarenakan status yang disandangnya adalah orang miskin. Diantara Rumah Sakit yang menolak merawatnya adalah RSCM, dan RSPAD Gatot Subroto. Ketika penolakan ini diungkapkan oleh Media, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berang dan mengancam akan mencabut ijin keenam Rumah Sakit tersebut.
Pasien yang ditolak oleh pihak Rumah Sakit disebabkan kemiskinan bukanlah hal yang baru terjadi di negeri ini. Selain penderitaan yang dialami Lailasari dan Udin, masih ada derita Maria Letsoin yang selama 3 minggu hanya bisa melepas rindu pada bayinya dari balik kaca ruangan rumah sakit akibat tidak mampu membayar biaya berobat buah hatinya. Selasa 16 Agustus 2005 lalu, atau satu hari menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-60, seorang ibu di Semarang bernama Siti Aminah terpaksa harus melahirkan bayi pertamanya di emperan toko emas setelah Puskesmas dan Klinik Bersalin menolaknya karena miskin.
        Penderitaan Lailasari, Udin, Maria Letsoin dan Siti Aminah terungkap ke publik mungkin disebabkan penderitaan mereka secara kebetulan terekam oleh berbagai media massa. Masih banyak orang miskin lain yang mengalami nasib yang serupa bahkan mungkin mengalami perlakuan yang lebih buruk, terutama di daerah-daerah Kabupaten/Kota. Program pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin (Gakin) atau Asuransi Kesehatan Miskin (Askeskin) yang dibiayai oleh pemerintah pusat ternyata banyak yang tidak sampai kepada yang seharusnya menerima atau tidak tepat sasaran. Bahkan program ini sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum pejabat di daerah sebagai lahan empuk korupsi untuk memperkaya diri. Puskesmas dan Rumah Sakit milik pemerintah daerah sarat dengan praktek KKN, dari mulai melakukan mark up anggaran sampai dengan penjualan obat-obatan yang seharusnya diberikan gratis kepada pasien keluarga miskin.
         Disamping persoalan sulitnya untuk mendapatkan pelayan kesehatan, orang miskin saat ini juga sulit untuk mendapatkan pendidikan, sebab pendidikan telah dikomersialisasikan. Jika komersialisasi pendidikan terjadi di sekolah yang dikelola pihak swasta, mungkin hal itu merupakan hal yang biasa. Namun yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah negeri juga ikut-ikutan latah, padahal gaji guru dan biaya operasionalnya telah ditanggung oleh pemerintah.
         Masih segar dari ingatan kita, bagaimana seorang siswa sekolah bernama Fifi Kusrini yang mengakhiri hidupnya secara tragis karena kemiskinan pada hari Jum’at 15 Juli 2005 lalu. Siswi kelas III SMP Negeri 10 Bekasi ini nekat menggantung diri karena kemiskinan orang tuanya. Kekuatan mental Fifi jatuh, ketika teman-temannya mengejeknya sebagai anak tukang bubur. Sebelumnya, tahun 2003 seorang siswa di Sanding, Garut, Jawa Barat, bernama Haryanto juga mengakhiri hidupnya karena kemiskinan. Nasib yang sama juga dialami oleh Eko Haryanto di Tegal, Jawa Tengah, tahun 2004. Tragedi demi tragedi kaum miskin tersebut merupakan bagian dari lembaran catatan hitam negeri yang telah 60 tahun merdeka ini.
         Memperbesar alokasi anggaran di sector pendidikan bukan jaminan bahwa tragedi seperti di atas tidak akan terulang lagi. Ketika para koruptor masih terus bebas menggrogoti anggaran di sector ini, maka dapat dipastikan biaya pendidikan akan tetap tinggi. Seperti yang terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tahun 2004 lalu telah dialokasikan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 43% dari total APBD. Anggaran ini meliputi untuk belanja aparatur daerah pada Pos TK/SDN/SLTPN/SMUN/SMKN, biaya Ujian Akhir Nasional (UAN), Penerimaan Siswa Baru (PSB) dan pengadaan buku paket untuk siswa sekolah dasar. Namun ternyata disejumlah sekolah anggaran ini tidak disalurkan Dinas Pendidikan kepada pengelola sekolah, sehingga Kepala Sekolah dan Komite Sekolah mengambil kebijakan membebankan biaya-biaya tersebut sepenuhnya kepada siswa. Yang lebih tragis, Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat melegalisasi bahkan ikut mengelola penjualan buku paket kepada siswa walau hal tersebut jelas melanggar SK. Mendiknas. Harga buku yang harus dibayar oleh siswa kelas 2 SD mencapai Rp. 30 ribu/buku.
       Biaya Kesehatan dan Pendidikan merupakan dua kata yang “sangat menakutkan” bagi orang miskin di negeri ini. Akibat mahalnya biaya pendidikan dan sulitnya mendapatkan pelayan kesehatan, orang miskin mungkin sudah lupa apakah benar bangsa ini telah 60 tahun lamanya merdeka. Orang miskin mungkin baru menyadari bahwa bangsa ini telah merdeka ketika diperintahkan agar mengibarkan bendera merah putih di depan rumahnya.
       Pada HUT Kemerdekaan RI ke-60 ini, kita kembali mengheningkan cipta untuk mengenang jasa dan berdo’a bagi arwah para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun alangkah lebih baik, jika sambil mengheningkan cipta kita juga mengingat penderitaan yang dialami orang miskin. Orang miskin juga ikut memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, jadi mereka juga punya hak untuk menikmati arti kemerdekaan. Tidaklah manusiawi, jika orang miskin disanjung dan dikunjung serta dibutuhkan para elit hanya pada saat menjelang Pilkada dan Pemilu.
       Kemiskinan bukanlah sebuah pilihan, orang-orang miskin adalah korban ketidakadilan. Orang miskin juga merupakan korban dari orang-orang kaya yang mengeruk kekayaan dengan semena-mena. Korban dari kapitalisme yang sama sekali tidak memberikan proteksi terhadap mereka yang tidak memiliki kapital. Memandang rendah terhadap orang miskin merupakan bukti nyata bahwa bangsa ini belum dapat menghargai mereka yang mencari nafkah secara halal. Disamping itu, hal tersebut juga membuktikan bahwa bangsa kita juga tidak mempunyai empati dan solidaritas sosial.
       Tragedi demi tragedi orang miskin yang terus terjadi mungkin akan menyebabkan arwah para pejuang kemerdekaan negeri ini gelisah. Jika mungkin para Syuhada tersebut dapat berbicara, pada saat peringatan HUT Kemerdekaan RI kali ini mereka akan berkata : “penolakan dan penghinaan terhadap orang miskin merupakan penghianatan terhadap pengorbanan dan penjuangan kami”. Bagaimana menurut anda ?. Salam.
* Penulis adalah Koordinator Kelompok Studi dan Edukasi Masyarakat Marginal
(K-SEMAR) Sumatera Utara.
* Artikel ini telah dipublikasikan di Majalah MELINDO, Edisi 15 – 30 September 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar